ilmu qiraat
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji dan syukur
kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat, taufik
dan hidayah-Nya. Sehingga penyusun
mampu menyelesaikan makalah ini.
Shalawat serta salam kepada sang
pendidik sejati Rasulullah SAW, serta para sahabat, tabi’in dan para umat yang
senantiasa berjalan dalam risalahnya. Dengan terselesainya makalah ini, kami
tidak lupa mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada semua pihak
yang memberikan sumbangan baik moral maupun spiritual.
Selanjutnya penyusun menyadari
sepenuhnya bahwa dalam makalah ini banyak terdapat kekurangan, walaupun
penyusun sudah berusaha semaksimal mungkin untuk membuat yang terbaik. Penyusun
menyadari sepenuhnya bahwa di dunia ini tidak ada yang sempurna. Begitu juga
dalam penyusunan makalah ini, yang tidak luput dari kekurangan dan
kesalahan. Oleh karena itu, dengan segala ketulusan dan kerendahan hati penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang bersifat konstruktif demi penyempurnaan makalah ini. Akhirnya penyusun berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat. Amiin.
kesalahan. Oleh karena itu, dengan segala ketulusan dan kerendahan hati penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang bersifat konstruktif demi penyempurnaan makalah ini. Akhirnya penyusun berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat. Amiin.
Makassar,
10 November 2012
Penyusun,
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR……………………………………………..………... 1
DAFTAR
ISI…………………………………...…………………………… 2
BAB
I PENDAHULUAN……..…………………………………………….. 3
A.
LATAR
BELAKANG………….……………………………………. 3
B.
RUMUSAN
MASALAH……………………………………………. 3
BAB
II PEMBAHASAN……………………………………………………. 5
A.
Pengertian
Qiraat…….……………………...……………………….. 5
B.
Sejarah Perkembangan Qiraat….….…………………………………. 6
C.
Tokoh-tokoh
Ilmu Qiraat dan Karya Ilmiahnya…………………....... 8
D.
Mengenal Imam-Imam Qiraat………………..……………………… 9
E.
Syarat-syarat Sahnya Qiraat…………………………………………. 13
F.
Pengaruh Qiraat Terhadap Istinbat
Hukum………………………….. 14
G.
Manfaat Perbedaan Qiraat…………………………………………… 17
BAB
III PENUTUP………………………………………………….……… 19
A.
KESIMPULAN…………………...…………………………………. 19
B.
SARAN-SARAN…….………………………………………………. 19
DAFTAR
PUSTAKA…………………………………………………….…. 20
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Qiraat merupakan salah satu cabang
ilmu dalam ‘Ulum al-Qur’an, namun tidak banyak orang yang tertarik kepadanya,
kecuali orang-orang tertentu saja, biasanya kalangan akademik. Banyak faktor
yang menyebabkan hal itu, di antaranya adalah, ilmu ini tidak berhubungan
langsung dengan kehidupan dan muamalah manusia sehari-hari; tidak seperti ilmu
fiqih, hadis, dan tafsir misalnya,yang dapat dikatakan berhubungan langsung
dengan kehidupan manusia. Hal ini dikarenakan ilmu qira’at tidak mempelajari
masalah-masalah yang berkaitan secara langsung dengan halal-haram atau
hukum-hukum tertentu dalam kehidupan manusia.
Selain itu, ilmu ini juga cukup
rumit untuk dipelajari, banyak hal yang harus diketahui oleh peminat ilmu
qira’at ini, yang terpenting adalah pengenalan al-Qur’an secara mendalam dalam
banyak seginya, bahkan hafal sebagian besar dari ayat-ayat al-Qur’an merupakan
salah satu kunci memasuki gerbang ilmu ini; pengetahuan bahasa Arab yang
mendalam dan luas dalam berbagai seginya, juga merupakan alat pokok dalam
menggeluti ilmu ini, pengenalan berbagai macam qiraat dan para perawinya adalah
hal yang mutlak bagi pengkaji ilmu ini. Hal-hal inilah barangkali yang
menjadikan ilmu ini tidak begitu populer.
Meskipun demikian keadaannya, ilmu
ini telah sangat berjasa dalam menggali, menjaga dan mengajarkan berbagai “cara
membaca” al-Qur’an yang benar sesuai dengan yang telah diajarkan Rasulullah
SAW. Para ahli qiraat telah mencurahkan segala kemampuannya demi
mengembangkan ilmu ini. Ketelitian dan kehati-hatian mereka telah menjadikan
al-Qur’an terjaga dari adanya kemungkinan penyelewengan dan masuknya
unsur-unsur asing yang dapat merusak kemurnian al-Qur’an. Tulisan singkat ini
akan memaparkan secara global tentang ilmu Qira’at al-Qur’an, dapat dikatakan
sebagai pengenalan awal terhadap Ilmu Qira’at al-Qur’an.
B.
RUMUSAN
MASALAH
Secara
garis besar terdapat beberapa rumusan masalah, diantaranya:
A.
Pengertian
Qiraat.
B.
Sejarah Perkembangan Qiraat.
C.
Tokoh-tokoh Ilmu Qiraat dan Karya Ilmiahnya.
D.
Mengenal Imam-Imam Qiraat.
E.
Syarat-syarat Sahnya Qiraat.
F.
Pengaruh Qiraat Terhadap Istinbat
Hukum.
G.
Manfaat Perbedaan Qiraat.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Qiraat
Menurut bahasa, qira’at (قراءات) adalah bentuk jamak dari qira’ah (قراءة) yang
merupakan isim masdar dari qaraa (قرأ), yang artinya
: bacaan.
Pengertian
qira’at menurut istilah cukup beragam. Hal ini disebabkan oleh keluasan
makna dan sisi pandang yang dipakai oleh ulama tersebut. Berikut ini akan
diberikan dua pengertian qira’at menurut istilah.
Qira’at menurut al-Zarkasyi
merupakan perbedaan lafal-lafal al-Qur'an, baik menyangkut huruf-hurufnya
maupun cara pengucapan huruf-huruf tersebut, sepeti takhfif, tasydid dan
lain-lain.
Dari pengertian di atas, tampaknya
al-Zarkasyi hanya terbatas pada lafal-lafal al-Qur'an yang memiliki perbedaan
qira’at saja. Ia tidak menjelaskan bagaimana perbedaan qira’at itu dapat
terjadi dan bagaimana pula cara mendapatkan qira’at itu.
Ada pengertian lain tentang qira’at
yang lebih luas daripada pengertian dari al-Zarkasyi di atas, yaitu pengertian
qira’at menurut pendapat al-Zarqani.
Al-Zarqani
memberikan pengertian qira’at sebagai : “Suatu mazhab yang dianut oleh seorang
imam dari para imam qurra’ yang berbeda dengan yang lainnya dalam pengucapan
al-Qur’an al-Karim dengan kesesuaian riwayat dan thuruq darinya. Baik itu
perbedaan dalam pengucapan huruf-huruf ataupun pengucapan bentuknya.”
Ada beberapa kata kunci dalam
membicarakan qiraat yang harus diketahui. Kata kunci tersebut adalah qira’at,
riwayat dan tariqah. Berikut ini akan dipaparkan pengetian dan perbedaan antara
qira’at dengan riwayat dan tariqah, sebagai berikut :
Qira’at adalah bacaan yang
disandarkan kepada salah seorang imam dari qurra’ yang tujuh, sepuluh atau
empat belas; seperti qira’at Nafi’, qira’at Ibn Kasir, qira’at Ya’qub dan lain
sebagainya.
Sedangkan Riwayat adalah bacaan yang
disandarkan kepada salah seorang perawi dari para qurra’ yang tujuh, sepuluh
atau empat belas. Misalnya, Nafi’ mempunyai dua orang perawi, yaitu Qalun dan
Warsy, maka disebut dengan riwayat Qalun ‘anNafi’ atau riwayat Warsy ‘an Nafi’.
Adapun yang dimaksud dengan tariqah
adalah bacaan yang disandarkan kepada orang yang mengambil qira’at dari
periwayat qurra’ yang tujuh, sepuluh atau empat belas. Misalnya, Warsy
mempunyai dua murid yaitu al-Azraq dan al-Asbahani, maka disebut tariq al-Azraq
‘an Warsy, atau riwayat Warsy min thariq al-Azraq. Bisa juga disebut dengan
qira’at Nafi’ min riwayati Warsy min tariq al-Azraq.
B.
Sejarah Perkembangan Qiraat
Pembahasan tentang sejarah dan
perkembangan ilmu qira’at ini dimulai dengan adanya perbedaan pendapat tentang
waktu mulai diturunkannya qira’at. Ada dua pendapat tentang hal ini;
Pertama,
qira’at mulai diturunkan di Makkah bersamaan dengan turunnya al-Qur’an.
Alasannya adalah bahwa sebagian besar surat-surat al-Qur’an adalah Makkiyah di
mana terdapat juga di dalamnya qira’at sebagaimana yang terdapat pada
surat-surat Madaniyah. Hal ini menunjukkan bahwa qira’at itu sudah mulai
diturunkan sejak di Makkah.
Kedua,
qira’at mulai diturunkan di Madinah sesudah peristiwa Hijrah, dimana
orang-orang yang masuk Islam sudah banyak dan saling berbeda ungkapan bahasa
Arab dan dialeknya. Pendapat ini dikuatkan oleh hadis yang diriwayatkan oleh
Imam Muslim dalam kitab shahihnya, demikian juga Ibn Jarir al-Tabari dalam
kitab tafsirnya. Hadis yang panjang tersebut menunjukkan tentang waktu
dibolehkannya membaca al-Qur’an dengan tujuh huruf adalah sesudah Hijrah, sebab
sumber air Bani Gaffar – yang disebutkan dalam hadis tersebut--terletak di
dekat kota Madinah.
Kuatnya pendapat yang kedua ini
tidak berarti menolak membaca surat-surat yang diturunkan di Makkah dalam tujuh
huruf, karena ada hadis yang menceritakan tentang adanya perselisihan dalam
bacaan surat al-Furqan yang termasuk dalam surat Makkiyah, jadi jelas bahwa
dalam surat-surat Makkiyah juga dalam tujuh huruf.
Ketika mushaf disalin pada masa
Usman bin Affan, tulisannya sengaja tidak diberi titik dan harakat, sehingga
kalimat-kalimatnya dapat menampung lebih dari satu qira’at yang berbeda. Jika
tidak bisa dicakup oleh satu kalimat, maka ditulis pada mushaf yang lain. Demikian
seterusnya, sehingga mushaf Usmani mencakup ahruf sab’ah dan berbagai qira’at
yang ada.
Periwayatan dan Talaqqi (si guru
membaca dan murid mengikuti bacaan tersebut) dari orang-orang yang tsiqoh dan
dipercaya merupakan kunci utama pengambilan qira’at al-Qur’an secara benar dan
tepat sebagaimana yang diajarkan Rasulullah SAW kepada para sahabatnya. Para
sahabat berbeda-beda ketika menerima qira’at dari Rasulullah. Ketika Usman
mengirimkan mushaf-mushaf ke berbagai kota Islam, beliau menyertakan orang
yang sesuai qiraatnya dengan mushaf tersebut. Qira’at orang-orang ini
berbeda-beda satu sama lain, sebagaimana mereka mengambil qira’at dari
sahabat yang berbeda pula, sedangkan sahabat juga berbeda-beda dalam
mengambil qira’at dari Rasulullah SAW.
Dapat disebutkan di sini para
Sahabat ahli qira’at, antara lain adalah : Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib,
Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Ibn Mas’ud, Abu al-Darda’, dan Abu Musa
al-‘Asy’ari.
Para sahabat kemudian menyebar ke
seluruh pelosok negeri Islam dengan membawa qira’at masing-masing. Hal ini
menyebabkan berbeda-beda juga ketika Tabi’in mengambil qira’at dari para
Sahabat. Demikian halnya dengan Tabiut-tabi’in yang berbeda-beda dalam
mengambil qira’at dari para Tabi’in.
Ahli-ahli qira’at di kalangan
Tabi’in juga telah menyebar di berbagai kota. Para Tabi’in ahli qira’at yang
tinggal di Madinah antara lain : Ibn al-Musayyab, ‘Urwah, Salim, Umar bin Abdul
Aziz, Sulaiman dan’Ata’ (keduanya putra Yasar), Muadz bin Harits yang terkenal
dengan Mu’ad al-Qari’, Abdurrahman bin Hurmuz al-A’raj, Ibn Syihab al-Zuhri,
Muslim bin Jundab dan Zaid bin Aslam.
Yang tinggal di Makkah, yaitu:
‘Ubaid bin’Umair, ‘Ata’ bin Abu Rabah, Tawus, Mujahid, ‘Ikrimah dan Ibn Abu
Malikah.
Tabi’in
yang tinggal di Kufah, ialah : ‘Alqamah, al-Aswad, Maruq, ‘Ubaidah, ‘Amr bin
Surahbil, al-Haris bin Qais,’Amr bin Maimun, Abu Abdurrahman al-Sulami, Said
bin Jabir, al-Nakha’i dan al-Sya'bi.
Sementara Tabi’in yang tinggal di
Basrah , adalah Abu ‘Aliyah, Abu Raja’, Nasr bin ‘Asim, Yahya bin Ya’mar,
al-Hasan, Ibn Sirin dan Qatadah.
Sedangkan
Tabi’in yang tinggal di Syam adalah : al-Mugirah bin Abu Syihab al-Makhzumi dan
Khalid bin Sa’d.
Keadaan ini terus berlangsung
sehingga muncul para imam qiraat yang termasyhur, yang mengkhususkan diri dalam
qira’at – qira’at tertentu dan mengajarkan qira’at mereka masing-masing.
Perkembangan selanjutnya ditandai
dengan munculnya masa pembukuan qira’at. Para ahli sejarah menyebutkan bahwa
orang yang pertama kali menuliskan ilmu qira’at adalah Imam Abu Ubaid
al-Qasim bin Salam yang wafat pada tahun 224 H. Ia menulis kitab yang diberi
nama al-Qira’at yang menghimpun qiraat dari 25 orang perawi. Pendapat lain
menyatakan bahwa orang yang pertama kali menuliskan ilmu qiraat adalah Husain
bin Usman bin Tsabit al-Baghdadi al-Dharir yang wafat pada tahun 378 H.
Dengan demikian mulai saat itu qira’at menjadi ilmu tersendiri dalam ‘Ulum
al-Qur’an.
Menurut Sya’ban Muhammad Ismail,
kedua pendapat itu dapat dikompromikan. Orang yang pertama kali menulis masalah
qiraat dalam bentuk prosa adalah al-Qasim bin Salam, dan orang yang pertama
kali menullis tentang qira’at sab’ah dalam bentuk puisi adalah Husain bin Usman
al-Baghdadi.
Pada penghujung Abad ke III Hijriyah,
Ibn Mujahid menyusun qira’at Sab’ah dalam kitabnya Kitab al-Sab’ah. Dia hanya
memasukkan para imam qiraat yang terkenal siqat dan amanah serta panjang
pengabdiannya dalam mengajarkan al-Qur’an, yang berjumlah tujuh orang. Tentunya
masih banyak imam qira’at yanng lain yang dapat dimasukkan dalam kitabnya.
Ibn Mujahid menamakan kitabnya
dengan Kitab al-Sab’ah hanyalah secara kebetulan, tanpa ada maksud tertentu.
Setelah munculnya kitab ini, orang-orang awam menyangka bahwa yang dimaksud
dengan ahruf sab’ah adalah qira’at sab’ah oleh Ibn Mujahid ini. Padahal
masih banyak lagi imam qira’at lain yang kadar kemampuannya setara dengan
tujuh imam qira’at dalam kitab Ibn Mujahid
Abu al-Abbas bin Ammar mengecam Ibn
Mujahid karena telah mengumpulkan qira’at sab’ah. Menurutnya Ibn Mujahid telah
melakukan hal yang tidak selayaknya dilakukan, yang mengaburkan pengertian
orang awam bahwa Qiraat Sab’ah itu adalah ahruf sab’ah seperti dalam hadis Nabi
itu. Dia juga menyatakan, tentunya akan lebih baik jika Ibn Mujahid mau
mengurangi atau menambah jumlahnya dari tujuh, agar tidak terjadi syubhat.
Banyak sekali kitab-kitab qiraat
yang ditulis para ulama setelah Kitab Sab’ah ini. Yang paling terkenal
diantaranya adalah : al-Taysir fi al-Qiraat al-Sab’i yang diisusun oleh
Abu Amr al-Dani, Matan al-Syatibiyah fi Qira’at al-Sab’i karya Imam al-Syatibi,
al-Nasyr fi Qira’at al-‘Asyr karya Ibn al-Jazari dan Itaf Fudala’ al-Basyar fi
al-Qira’at al-Arba’ah ‘Asyara karya Imam al-Dimyati al-Banna. Masih
banyak lagi kitab-kitab lain tentang qira’at yang membahas qiraat dari berbagai
segi secara luas, hingga saat ini.
C.
Tokoh-tokoh
Ilmu Qiraat dan Karya Ilmiahnya
Perkembangan ilmu qiraat demikian
pesatnya, sehingga memunculkan banyak tokoh-tokoh ahli qira’at yang
mengabadikan ilmunya dalam bentuk karya tulis. Berikut ini dipaparkan beberapa
tokoh ahli qira’at dengan karya-karyanya, sebagai berikut :
1.
Makki bin Abu Thalib al-Qaisi, wafat pada tahun 437 H
Beliau
menyusun kitab : al-Ibanah ‘an Ma’ani al-Qiraat dan al-Kasyfu ‘an Wujuuhi
al-Qiraati al-Sab’i wa ‘Ilaaliha
2.
Abdurrahman bin Ismail, yang lebih dikenal dengan nama Abu Syaamah, wafat
pada tahun 665 H. Beliau mengarang kitab :Ibraazu Ma’ani min Harzi al-Amani
dan Syarah Kitab al-Syatibiyah
3.
Ahmad bin Muhammad al-Dimyati. Wafat pada tahun 117 H. Beliau menyusun
kitab : Itafu Fudalai al-Basyari fi al- qira’at al-Arba’i ‘Asyar
4.
Imam Muhammad al-Jazari, wafat pada tahun 832 H.
Beliau
menyusun kitab :Tahbir al-Taisir fi al-Qiraat al-‘Asyar min T}ariiqi
al-Syatibiyah wa al-Durrah
5.
Imam Ibn al-Jazari yang menyusun kitab : Taqrib al-Nasyar fi al-Qira’at
al-‘Asyar dan Al-Nasyar fi al-Qira’at al-‘Asyar
6.
Husain bin Ahmad bin Khalawaih, wafat pada tahun 370 H.
Beliau
menyusun kitab : al-Hujjatufi Qira’at al-Sab’i dan Mukhtashar Syawaadzi
al-Qur’an
7.
Imam Ahmad bin Musa bin Mujahid, wafat pada tahun 324 H.
Beliau
menyusun kitab : Kitab al-Sab’ah
8.
Imam Syatibi, wafat pada tahhun 548 H. Beliau menyusun kitab :
Harzu al-Amani wa Wajhu al-Nahani –Nazam fi Qira’at al-Sab’i
9.
Syaikh Ali al-Nawawi al-Shafaqisi yang menyusun kitab : Ghaitsu al-Nafi’
fi al-Qira’atial-Sab’i
10.
Imam Abu Amr al-Dani, wafat pada tahun 444 H.
Beliau
menyusun kitab : al-Taysir fi al-Qira’at al-Sab’i.
D.
Mengenal Imam-Imam Qiraat
Berikut ini adalah para imam qira’at
yang terkenal dalam sebutan qira’at Sab’ah dan Qiraat ‘Asyarah , serta qira’at
Arba’ ‘Asyara :
1.
Nafi’al-Madani
Nama
lengkapnya adalah Abu Ruwaim Nafi’ bin Abdurrahman bin Abu Nu’aim al-Laitsi,
maula Ja’unah bin Syu’ub al-Laitsi. Berasal dari Isfahan. Wafat di Madinah pada
tahun 177 H.
Ia
mempelajari qira’at dari Abu Ja’far Yazid bin Qa’qa’, Abdurrahman bin Hurmuz,
Abdullah bin Abbas, Abdullah bin ‘Iyasy bin Abi Rabi’ah al-Makhzumi; mereka
semua menerima qiraat yang mereka ajarkan dari Ubay bin Ka’ab dari Rasulullah.
Murid-murid
Imam Nafi’ banyak sekali, antara lain : Imam Malik bin Anas, al-Lais bin Sa’ad,
Abu ‘Amar ibn al-‘Alla’, ‘Isa bin Wardan dan Sulaiman bin Jamaz.
Perawi
qira’at Imam Nafi’ yang terkenal ada dua orang, yaitu Qaaluun (w. 220 H)
dan Warasy (w.197 H).
2.
Ibn Kasir al-Makki
Nama
lengkapnya adalah Abdullah ibn Kasir bin Umar bin Abdullah bin Zada
bin Fairuz bin Hurmuz al-Makki. Lahir di Makkah tahun 45 H. dan wafat
juga di Makkah tahun 120 H.
Beliau
mempelajari qira’at dari Abu as-Sa’ib, Abdullah bin Sa’ib al-Makhzumi, Mujahid
bin Jabr al-Makki dan Diryas (maula Ibn ‘Abbas). Mereka semua masing-masing
menerima dari Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Sabit dan Umar bin Khattab; ketiga
Sahabat ini menerimanya langsung dari Rasulullah SAW.
Murid-murid
Imam Ibn KAsir banyak sekali, namun perawi qiraatnya yang terkenal ada dua
orang, yaitu Bazzi (w. 250 H) dan Qunbul (w. 251 H).
3.
Abu’Amr al-Basri
Nama
lengkapnya Zabban bin ‘Alla’ bin ‘Ammar bin ‘Aryan al-Mazani at-Tamimi
al-Bashr. Ada yang mengatakan bahwa namanya adalah Yahya. Beliau adalah imam
Bashrah sekaligus ahli qiraat Bashrah. Beliau lahir di Mekkah tahun 70 H, besar
di Bashrah, kemudian bersama ayahnya berangkat ke Makkah dan Madinah. Wafat di
Kufah pada tahun 154 H.
Beliau
belajar qira’at dari Abu Ja’far, Syaibah bin Nasah, Nafi’ bin Abu Nu’aim,
Abdullah ibn Kasir, ‘Ashim bin Abu al-Nujud dan Abu al-‘aliyah. Abu al-‘Aliyah
menerimanya dari Umar bin Khattab, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Sabit dan Abdullah
bin Abbas. Keempat Sahabat ini menerima qira’at langsung dari Rasulullah SAW.
Murid
beliau banyak sekali, yang terkenal adalah Yahya bin Mubarak bin Mughirah
al-Yazidi (w. 202 H.) Dari Yahya inilah kedua perawi qiraat Abu ‘Amr menerima
qiraatnya, yaitu al-Duuri (w. 246 H) dan al-Suusii (w. 261 H).
4.
Abdullah bin ‘Amir al-Syami
Nama
lengkapnya adalah Abdullah bin ‘Amir bin Yazid bin Tamim bin Rabi’ah
al-Yahshabi. Nama panggilannya adalah Abu ‘Amr, ia termasuk golongan Tabi’in.
Beliau adalah imam qiraat negeri Syam, lahir pada tahun 8 H, wafat pada tahun
118 H di Damsyik.
Ibn
‘Amir menerima qira’at dari Mugirah bin Abu Syihab, Abdullah bin Umar bin
Mugirah al-Makhzumi dan Abu Darda’ dari Utsaman bin Affan dari Rasulullah SAW.
Di
antara para muridnya yang menjadi perawi qiraatnya yang terkenal adalah Hisyam
(w. 145 H) dan Ibn Zakwaan (w. 242 H).
5.
‘Ashim al-Kufi
Nama
lengkapnya adalah ‘Ashim bin Abu al-Nujud. Ada yang mengatakan bahwa nama
ayahnya adalah Abdullah, sedang Abu al-Nujud adalah nama panggilannya. Nama
panggilan ‘Ashim sendiri adalah Abu Bakar, ia masih tergolong Tabi’in. Beliau
wafat pada tahun 127 H.
Beliau
menerima qira’at dari Abu Abdurrahman bin Abdullah al-Salami, Wazar bin Hubaisy
al-Asadi dan Abu Umar Saad bin Ilyas al-Syaibani. Mereka bertiga menerimanya
dari Abdullah bin Mas’ud. Abdullah bin Mas’ud menerimanya dari Rasulullah SAW.
Di
antara para muridnya yang menjadi perawi qiraatnya yang terkenal adalah Syu’bah
(w.193 H) dan Hafs (w. 180H).
6.
Hamzah al-Kufi
Nama
lengkapnya adalah Hamzah bin Habib bin ‘Ammarah bin Ismail al-Kufi. Beliau
adalah imam qiraat di Kufah setelah Imam ‘Ashim. Lahir pada tahun 80 H., wafat
pada tahun 156 H di Halwan, suatu kota di Iraq.
Beliau
belajar dan mengambil qiraat dari Abu Hamzah Hamran bin A’yun, Abu Ishaq ‘Amr
bin Abdullah al-Sabi’I, Muhammad bin Abdurrahman bin Abu Ya’la, Abu Muhammad
Talhah bin Mashraf al-Yamani dan Abu Abdullah Ja’far al-Shadiq bin Muhammad
al-Baqir bin Zainul ‘Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib serta Abdullah
bin Mas’ud dari Rasulullah SAW.
Di
antara para muridnya yang menjadi perawi qira’at -nya yang terkenal adalah
Khalaf (w. 150 H) dan Khallad (w. 229 H).
7.
Al-Kisa’i al-Kufi
Nama
lengkapnya adalah Ali bin Hamzah bin Abdullah bin Usman al-Nahwi. Nama
panggilannya Abul Hasan dan ia bergelar Kisa’i karena ia mulai melakukan ihram
di Kisaa’i. Beliau wafat pada tahun 189 H.
Beliau
mengambil qira’at dari banyak ulama. Diantaranya adalah Hamzah bin Habib
al-Zayyat, Muhammad bin Abdurrahman bin Abu Laia, ‘Ashim bin Abun Nujud, Abu
Bakar bin’Ilyasy dan Ismail bin Ja’far yang menerimanya dari Syaibah bin Nashah
(guru Imam Nafi’ al-Madani), mereka semua mempunyai sanad yang bersambung
kepada Rasulullah SAW.
Murid-murid
Imam Kisaa’i yang dikenal sebagai perawi yang dikenal sebagai perawi
qira’at-nya adalah al-Lais (w. 240 H) dan Hafsh al-Duuri (w. 246 H).
Untuk
melengkapi jumlah qira’at menjadi qira’at ‘Asyarah, maka ditambahkan imam-imam
qira’at berikut ini :
8.
Abu Ja’far al-Madani
Nama
lengkapnya adalah Yazid bin Qa’qa’ al-Makhzumi al-Madani. Nama panggilannya Abu
Ja’far. Beliau salah seorang Imam Qiraat ‘Asyarah dan termasuk golongan
Tabi’in. Beliau wafat pada tahun 130 H.
Beliau
mengambil qiraat dari maulanya, Abdullah bin ‘Iyasy bin Abi Rabi’ah, Abdullah
bin Abbas dan Abu Hurairah, mereka bertiga menerimanya dari Ubay bin Ka’ab. Abu
Hurairah dan Ibn Mas’ud mengambil qiraat dari Zaid bin Tsabit, dan mereka semua
menerimanya dari Rasulullah SAW.
Murid
Imam Abu Ja’far yang terkenal menjadi perawi qiraatnya adalah Isa bin Wardaan
(w. 160 H) dan Ibn Jammaz (w. 170 H).
9.
Ya’qub al-Bashri
Nama
lengkapnya adalah Ya’qub bin Ishaq bin Zaid bin Abdullah bin Abu Ishaq
al-Hadrami al-Mishri. Nama panggilannya Muhammad. Beliau seorang imam qiraat
yang besar, banyak ilmu,shalih dan terpercaya. Beliau merupakan sesepuh utama
para ahli qiraat sesudah Abu ‘Amr bin al-‘Alla’. Beliau wafat pada bulan Zul
Hijjah tahun 205 H.
Beliau
mengambil qiraat dari Abdul Mundir Salam bin Sulaiman al-Muzanni, Syihab bin
Syarnafah, Abu Yahya Mahd bin Maimun dan Abul Asyhab Ja’far bin Hibban
al-‘Autar. Semua gurunya ini mempunyai sanad yang bersambung kepada Abu Musa
al-Asy’ari dari Rasulullah SAW.
Murid
sekaligus perawi dari qiraat Imam Ya’qub yang terkenal adalah Ruwas (w. 238 H)
dan Ruh (w. 235 H).
10.
Khalaf al-‘Asyir
Nama
lengkapnya adalah Khalaf bin Hisyam bin Tsa’lab al-Asdi al-Baghdadi. Nama
panggilannya Abu Muhammad. Beliau lahir tahun 150 H. dan wafat pada bulan
Jumadil akhir tahun 229 H. di Bagdad.
Beliau
tampil dengan qiraat tersendiri yang berbeda dengan qiraat dari gurunya Imam
Hamzah, oleh karena itu ia terhitung masuk ke dalam kelompok Imam Qiraat
‘Asyarah
Murid-murid
yang merawikan qiraat Imam Khalaf ini yang terkenal adalah Ishaq (w. 286 H) dan
Idris (w. 292).
Untuk
melengkapi jumlah qiraat menjadi Qiraat Arba’ ‘Asyarah, maka ditambahkan
imam-imam qiraat berikut ini :
11.
Hasan al-Basri
Nama
lengkapnya adalah Hasan bin Abu al-Hasan Yasar Abu Said al-Bashri. Seorang
pembesar Tabi’in yang terkenal zuhud, wafat pada tahun 110 H. Dua perawinya
adalah Syuja’ bin Abu al-Nashr al-Balkhi dan al-Duri.
12.
Ibn Muhaisin
Nama
lengkapnya adalah Muhammad bin Abdurrahman al-Makki. Beliau adalah guru dari
Abu ‘Amr al-Dani, wafat pada tahun 123 H. Dua perawinya adalah al-Bazzi dan Abu
al-Hasan bin Syambudz
13.
Al-Yazidi
Nama
lengkapnya adalah Yahya bin Mubarak al-Yazidi al-Nahwi. Beliau adalah guru dari
al-Duri dan Al-Susi, wafat pada tahun 202 H. Dua perawinya adalah Sulaiman bin
al-Hakam dan Ahmad bin Farh.
14.
Al-A’masy
Nama
lengkapnya adalah Sulaiman bin Mahram al-A’masy. Beliau termasuk golongan
Tabii., wafat pada tahun 148 H. Dua perawinya adalah al-Hasan bin Said
al-Mathu’I dan Abu al-Farj al- Syambudzi al-Syatwi.
E.
Syarat-syarat Sahnya Qiraat
Para ulama menetapkan tiga syarat
sah dan diterimanya qiraat. yaitu :
1.
Sesuai dengan salah satu kaidah bahasa Arab.
2.
Sesuai dengan tulisan pada salah satu mushaf Usmani, walaupun hanya tersirat.
3.
Shahih sanadnya.
Yang dimaksud dengan “sesuai dengan
salah satu kaidah bahasa Arab“ ialah: tidak menyalahi salah satu segi dari
segi-segi qawa’id bahasa Arab, baik bahasa Arab yang paling fasih ataupun
sekedar fasih, atau berbeda sedikit tetapi tidak mempengaruhi maknanya. Yang
lebih dijadikan pegangan adalah qiraat yang telah tersebar secara luas dan
diterima para imam dengan sanad yang shahih.
Sementara yang dimaksud dengan
“sesuai dengan salah satu tulisan pada mushaf Usmani” adalah sesuainya qiraat
itu dengan tulisan pada salah satu mushaf yang ditulis oleh panitia yang
dibentuk oleh Usman bin ‘Affan dan dikirimkannya ke kota-kota besar Islam pada
masa itu.
Mengenai maksud dari “shahih
sanadnya” ini ulama berbeda pendapat. Sebagian menganggap cukup dengan shahih
saja, sebagian yang lain mensyaratkan harus mutawatir.
Syaikh Makki bin Abu Talib al-Qaisi
menyatakan : “Qiraat shahih adalah qiraat yang shahih sanadnya sampai kepada
Nabi Muhammad SAW, ungkapan kalimatnya sempurna menurut kaedah tata bahasa Arab
dan sesuai dengan tulisan pada salah satu mushaf Usmani.” Pendapat ini diikuti
oleh Ibnl Jazari, sebagaimana disebutkan dalam kitabnya Tayyibatun Nasyar fi
al-Qira’at al-‘Asyar..
Menurut Sya’ban Muhammad Ismail,
mengutip pendapat al-Shafaaqasi, pendapat ini lemah karena membawa akibat tidak
adanya perbedaan antara al-Qur’an dengan yang bukan al-Qur’an.
Akan tetapi pada kesempatan lain,
Ibnl Jazari mensyaratkan mutawatir untuk diterimanya qiraat yang shahih,
seperti disebutkan pada kitabnya Munjid al-Muqriin wa Mursyid al-Talibin.
Jadi, mungkin yang dimaksud dengan “shahih sanadnya” oleh Ibnl Jazari di sini
adalah Mutawatir.
Menurut Imam al-Nuwairi : “
Meniadakan syarat mutawatir adalah pendapat yang baru, bertentangan dengan
ijma’ para ahli fiqih, ahli hadis dan yang lain-lain. Sebab al-Qur’an menurut
jumhur ulama empat mazhab yang terkemuka adalah kalamullah yang
diriwayatkan secara mutawatir dan dituliskan pada mushaf. Semua orang
yang memegang definisi ini pasti mensyaratkan mutawatir, sebagaimana yang
dikatakan oleh Ibn Hajib. Dengan demikian, menurut para imam dan pemuka mazhab
yang empat, syarat mutawatir itu merupakan keharusan. Banyak orang yang secara
jelas menerangkan pendapat ini seperti Abu Abdul Barr, al-Azra’i, Ibn ‘Athiyah,
al-Zarkasyi dan al-Asnawi. Pendapat yang mensyaratkan mutawatir inipun telah
menjadi ijma’ para ahli qiraat. Tidak ada ulama mutaakhirin yang tidak
sependapat kecuali al-Makki dan beberapa orang lainnya.”
F.
Pengaruh Qiraat Terhadap Istinbat
Hukum
Dalam hal istimbat hukum, qiraat
dapat membantu menetapkan hukum secara lebih jeli dan cermat. Perbedaan qiraat
al-Qur'an yang berkaitan dengan substansi lafaz atau kalimat, adakalanya
mempengaruhi makna dari lafaz tersebut adakalanya tidak. Dengan demikian,
maka perbedaan qiraat al-Qur'an adakalanya berpengaruh terhadap istimbat hukum
dan adakalanya tidak.
1.
Perbedaan qira’at yang berpengaruh terhadap istinbat Hukum
Qira’at
shahihah (Mutawatir dan Masyhur) bisa dijadikan sebagai tafsir dan penjelas
serta dasar penetapan hukum, misalnya qira’at membantu penafsiran qira’at
(لَامَسْتُمْ) dalam menetapkan hal-hal yang membatalkan wudu seperti
dalam Q.S Al-Nisa’ (4): 43 :
وَإِنْ كُنتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى
سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنْ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمْ
النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا
فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا
Terjemahnya:
"…..
Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air
atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapatkan air, maka
bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci): sapulah mukamu dan tanganmu.
Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun".
Ada perbedaan cara membaca pada
lafaz (لَامَسْتُمْ
النِّسَاءَ). Ibn Katsir, Nafi', 'Ashim, Abu 'Amer dan Ibn 'Amir, membaca (لَامَسْتُمْ
النِّسَاءَ), sedangkan Ham-zah dan al-Kisa'i, membaca (لَامَسْتُمْ
النِّسَاءَ).
Para ulama berbeda pendapat tentang
makna dari qira’at (لَامَسْتُمْ), ada tiga
versi pendapat ulama mengenai makna (َامَسْتُمْ), yaitu:
bersetubuh, bersentuh, dan bersentuh serta bersetubuh.
Para ulama juga berbeda pendapat
tentang maksud dari (َامَسْتُمْ). Ibn Abbas,
al-Hasan, Mujahid, Qatadah dan Abu Hanifah berpendapat bahwa maksudya adalah:
bersetubuh. Sementara itu, Ibn Mas'ud, Ibn Abbas al-Nakha'i dan Imam Syafi'i
berpendapat, bahwa yang dimaksud adalah: bersentuh kulit baik dalam bentuk
persetubuhan atau dalam bentuk lainnya.
Ada sebuah
pendapat yang menyatakan, bahwa yang
dimaksud dengan (لَامَسْتُمْ النِّسَاءَ) adalah sekedar menyentuh perempuan. Sedangkan
maksud dari (امَسْتُمْ) adalah berjima’ dengan perempuan. Sementara ada hadis shahih
yang menceritakan bahwa Nabi SAW pernah mencium istrinya sebelum
berangkat sholat tanpa berwudhu lagi. Jadi
yang dimaksud dengan kata (لَامَسْتُمْ النِّسَاءَ) di sini adalah berjima’, bukan sekedar menyentuh perempuan.
Dari contoh di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa yang membatalkan wudhu
adalah berjima’, bukan sekedar bersentuhan dengan perempuan.
Pendapat lain menyatakan bahwa
pendapat yang kuat adalah yang berarti bersentuhan kulit. Pendapat ini
dikuatkan oleh al-Razi yang menyatakan bahwa kata al-lums (اللمس) dalam qira’at (لمستم), makna
hakikinya adalah menyentuh dengan tangan. Ia menegaskan bahwa bahwa pada
dasarnya suatu lafaz harus diartikan dengan pengertian hakikinya. Sementara
itu, kata al-mulamasat (الملامسات) dalam
qira’at (لمَسْتُمْ), makna hakikinya adalah saling
menyentuh, dan bukan berarti bersetubuh.
2.
Perbedaan Qiraat yang Tidak Berpengaruh
terhadap Istinbat Hukum
Berikut
ini adalah contoh dari adanya perbedaan qira’at tetapi tidak berpengaruh
terhadap istimbath hukum, yaitu pada Q.S. al-Ahzab (33): 49.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمْ
الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا
لَكُمْ
عَلَيْهِنَّ
مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ
سَرَاحًا
جَمِيلًا
Terjemahnya:
"Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang
beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka
sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta
menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah, dan lepaskanlah mereka itu
dengan cara sebaik-baiknya."
Ayat di atas menjelaskan, bahwa
seorang istri yanng diceraiakn oleh suaminya dalam keadaan belum disetubuhi,
maka tidak ada masa iddah baginya. Masa iddah adalah masa menunggu bagi seorang
wanita yang diceraikan suaminya, sebelum wanita tersebut dibolehkan kawin lagi
dengan laki-laki lain.
Berkenaan
dengan ayat di atas, Hamzah dan al-Kisa'I, membacanya dengan (مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمآسُّوهُنَّ),
sementara Ibn Kasir, Abu 'Amer, Ibn 'Ashim, dan Nafi' membaca: (مِنْ
قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ). Perbedaan bacaan tersebut tidak
menimbulkan perbedaan maksud atau ketentuan hukum yang terkandung di dalamnya.
3.
Pemakaian Qira’at Syaz dalam Istinbat Hukum
Tidak hanya qira’at mutawatir
dan masyhur yang dapat dipergunakan untuk menggali hukum-hukum syar’iyah,
bahkan qira’at Syaz juga boleh dipakai untuk membantu menetapkan hukum
syar’iyah. Hal itu dengan pertimbangan bahwa qira’at Syaz itu sama kedudukannya
dengan hadis Ahad (setingkat di bawah Mutawatir), dan mengamalkan hadis Ahad
adalah boleh. Ini merupakan pendapat Jumhur ulama.
Ulama mazhab Syafi’i tidak menerima
dan tidak menjadikan Qiraat Syaz sebagai dasar penetapan hukum dengan
alasan bahwa Qiraat Syaz tidak termasuk al-Qur’an. Pendapat ini dibantah oleh
Jumhur Ulama yang mengatakan bahwa dengan menolak Qira’at Syaz sebagai
al-Qur’an tidak berarti sekaligus menolak Qiraat Syaz sebagai Khabar (Hadis).
Jadi, paling tidak Qiraat Syaz tersebut merupakan Hadis Ahad.
Contoh
penggunaan Qira’at Syaz sebagai dasar hukum adalah sebagai berikut :
1.
Memotong tangan kanan pencuri, berdasarkan kepada qiraat Ibn Mas’ud dalam
surat al-Maidah ayat 38, yang berbunyi :
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْمانيَهُمَا
Artinya:
Laki-laki
yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan kanan keduanya…..
Dalam Qiraat yang shahihah ayat tersebut berbunyi :
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
2.
Mazhab Hanafi mewajibkan puasa tiga hari berturut-turut sebagai kafarah sumpah,
juga berdasarkan kepada qiraat Ibn Mas’ud dalam surat al-Maidah ayat 89, yang
berbunyi:
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ متتلبعات
Artinya
:
……….
Barangsiapa tidak sanggup melakukan demikian, maka kafaratnya puasa
selama tiga hari berturut-turut ….
Dalam
qira’at yang shahihah ayat tersebut berbunyi :
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ
Sya’ban Muhammad Ismail, mengutip
pernyataan Abu ‘Ubaid, menyatakan bahwa tujuan sebenarnya dari Qiraat Syaz
adalah merupakan Tafsir dari qiraat shahih (masyhur) dan penjelasan mengenai
dirinya. Huruf-huruf tersebut harakatnya (lafaz Qira’at Syaz tersebut) menjadi
tafsir bagi ayat al-Qur’an pada tempat tersebut. Hal yang demikian ini, yaitu
tafsir mengenai ayat-ayat tersebut, pernah dikemukakan oleh para Tabi’in, dan
ini merupakan hal yang sangat baik.
Pendapat
ini diperkuat dengan pernyataan al-Suyuti, sebagai berikut :
“Jika
penafsiran itu dikemukakan oleh sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW yang benar,
yang kemudian menjadi bagian dari qiraat al-Qur’an itu sendiri, tentu tafsir
ini lebih tinggi nilainya dan lebih kuat. Mengambil kesimpulan hukum dari
penafsiran yang dikemukakan Qira’at Syaz ini adalah suatu pengejawantahan yang
dapat dipertanggung jawabkan.”
G. Manfaat
Perbedaan Qiraat
Adanya bermacam-macam qiraat seperti
telah disebutkan di atas, mempunyai berbagai manfaat, yaitu :
1.
Meringankan umat Islam dan mudahkan mereka untuk membaca al-Qur’an.
Keringanan ini sangat dirasakan khususnya oleh penduduk Arab pada masa awal
diturunkannya al-Qur’an, dimana mereka terdiri dari berbagai kabilah dan suku
yang diantara mereka banyak terdapat perbedaan logat, tekanan suara dan
sebagainya. Meskipun sama-sama berbahasa Arab. Sekiranya al-Qur’an itu
diturunkan dalam satu qiraat saja maka tentunya akan memberatkan suku-suku lain
yang berbeda bahasanya dengan al-Qur’an.
2.
Menunjukkan betapa terjaganya dan terpeliharanya al-Qur’an dari perubahan dan
penyimpangan, padahal kitab ini mempunyai banyak segi bacaan yang berbeda-beda.
3.
Dapat menjelaskan hal-hal mungkin masih global atau samar dalam qiraat yang
lain, baik qira’at itu Mutawatir, Masyhur ataupun Syadz. Misalnya qira’at Syadz
yang menyalahi rasam mushaf Usmani dalam lafaz dan makna tetapi dapat membantu
penafsiran, yaitu lafaz (فامضوا) sebagai ganti
dari lafaz (فَاسْعَوْا) pada Q.S. al-Jumu’ah (62): 9:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي
لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ
وَذَرُوا الْبَيْعَ….
Yang
dimaksud dengan (فَاسْعَوْا) di sini
adalah bukan berjalan cepat-cepat dan tergesa-gesa, tetapi bersegera pergi ke
masjid dan berjalan dengan tenang.
4.
Bukti kemukjizatan al-Qur’an dari segi kepadatan maknanya, karena setiap
qiraat menunjukkan suatu hukum syara’ tertentu tanpa perlu adanya pengulangan
lafaz.
5.
Meluruskan aqidah sebagian orang yang salah, misalnya dalam penafsiran
tentang sifat-sifat surga dan penghuninya dalam Q.S. al-Insan (76): 20 :
وَإِذَا رَأَيْتَ ثَمَّ رَأَيْتَ
نَعِيمًا وَمُلْكًا كَبِيرًا
Dalam qira’at lain dibaca (مَلِكًا) dengan memfathahkan mim dan mengkasrahkan lam, sehingga
qira’at ini menjelaskan qira’at pertama bahwa orang-orang mukmin akan melihat
wajah Allah di akhirat nanti.
6.
Menunjukkan keutamaan dan kemuliaan umat Muhammad SAW atas
umat-umat pendahulunya, karena kitab-kitab yang terdahulu hanya turun dengan
satu segi dan satu qiraat saja, berbeda dengan al-Qur’an yang turun dengan
beberapa qiraat.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pembahasan tentang qiraat di
atas dapat diambil beberapa kesimpulan, sebagai berikut :
1.
Qira’at Sab’ah bukanlah Sab’atu ahruf, tetapi qira’at Sab’ah adalah
qira’at yang diriwayatkan oleh para imam qiraat yang tujuh orang, dan merupakan
bagian dari Sab’atu Ahruf.
2.
Qira’at ‘Asyarah adalah shahih dan sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah
SAW, maka boleh membaca al-Qur’an dengan qiraat manapun diantara salah satu
dari yang sepuluh itu, di luar itu adalah Qiraat Syadz serta tidak boleh
dipakai untuk membaca al-Qur’an.
3.
Qira’at, baik shahih maupun syadz, dapat dipakai untuk menetapkan hukum syar’i,
sebagaimana pendapat jumhur ulama.
4.
Umat Islam sangat mementingkan masalah al-Qur’an beserta qiraatnya yang
bermacam-macam itu sehingga banyak ulama mengkhususkan diri dalam maslah qiraat
dengan mendalaminya, mengajarkannya dan menulis kitab-kitab tentang qiraat. Hal
ini merupakan salah satu upaya untuk menjaga kemurnian al-Qur’an.
5.
Perbedaan qira’at yang ada mempunyai banyak manfaat bagi umat Islam, terutama
dalam memudahkan membaca al-Qur’an dan mengambil hukum dari al-Qur’an.
B.
Saran-Saran
Dengan selesainya makalah ini
tentunya masih banyak yang kurang di dalamnyai maka dari itu kami mengharapkan
kritikan dan saran yang sifatnya membangun dari Bapak dosen yang
membawakan mata kuliah ini.
Selanjutnya selaku Penyusun makalah ini
kami hanya memberikan himbauan khususnya kepada teman-teman mahasiswa karena
seperti yang kita ketahui bahwa mahasiswa “agent social of change dan agent
social of control”, maka untuk mengaplikasikannya itu maka kita dituntut untuk
mengadakan inovasi dan tidak lupa kita harus membenahi diri kekurangan yang ada
untuk menuju kesempurnaan.
DAFTAR
PUSTAKA
Nur,
Muhammad Qadirun. 2001. Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis. Jakarta. Pustaka Amani.
Ash-Shabuni,
Muhammad Ali. 2003. At-Tibyan Fi Ulumil Qur’an. Jakarta. Darul Kutub Al- Islamiyah.
Al-Qattan,
Manna Khalil. 1973. Mabahis Fi Ulumil Qur’an. Surabaya. Al-hidayah.
Al-Qodi,
Abdul Fattah Abdul Ghoni. 2009. Al-Wafi fi Syarhi Asy-Syathibiy. Mesir. Dar
el-Islam
Komentar
Posting Komentar