ayah dan ibu nabi muhammad apakah masuk neraka
Assalamu'alikum . . .
Inilah hakikat sejati ajaran Wahabi
yang senantiasa menjadikan hati mereka keras karena keyakinan bathil yang
mereka yakini bahwa kedua Orang Tua Nabi SAW meninggal dalam keadaan Kafir.
Maka tidaklah mengherankan kalau kaum Wahabi ini mempunyai ciri utama dalam
dakwah mereka yaitu pelembagaan tradisi takfir dengan dalih pemurnian Tauhid
dan kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah, dan dengan mudah mengkafirkan kaum
Muslimin yang berbeda pendapat dengan mereka karena pondasi takfir itu sendiri
sudah mereka pancangkan dengan sangat kokohnya dengan sengaja menyakiti hati
Nabi SAW karena menghukumi kedua Orang Tua Beliau wafat dalam keadaan
Kafir/tidak beriman. http://voa-islam.com/ adalah situs terkenal
Wahabi Takfiri yang selalu gigih dalam memprovokasi dan konsisten dalam adu
domba dan memecah belah Umat dengan isyu-isyu dan fitnahnya.
Kembali ke pembahasan artikel ini,
soal apakah seseorang akan masuk surga atau neraka, itu sepenuhnya menjadi
urusan Allah. Dia yang menguasai alam dunia dan alam akhirat, Dia yang memiliki
surga dan neraka, Dia pula yang menentukan siapa masuk ke mana. Berbahagialah
orang yang lebih disibukkan oleh aibnya (kekurangan-kekurangannya,
dosa-dosanya) sendiri daripada oleh aib atau kekurangan orang lain (seperti
kita pahami dari sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi).
Ada sebagian kalangan dari umat
Islam meyakini bahwa orang tua Nabi Muhammad SAW akan masuk neraka, dengan
bersandar pada setidaknya dua hadits. Salah satunya adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Ahmad dan at-Tirmidzi bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Aku
meminta izin kepada Tuhanku untuk memohon ampun (beristighfar) bagi ibuku
tetapi Dia tidak mengizinkan aku, dan aku meminta izin untuk berziarah ke makam
ibuku, Dia mengizinkan aku.” Menurut kalangan yang meyakini bahwa orang tua
Nabi akan masuk neraka, tidak adanya izin dari Allah untuk beristighfar bagi
ibunda Nabi itu menunjukkan bahwa ibunda Rasulullah SAW adalah seorang musyrik
yang, kalau benar demikian akan masuk neraka.
Hadits kedua adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim. Dalam hadits itu disebutkan bahwa seseorang
bertanya kepada Rasulullah SAW, “Di manakah ayahku (Abi)?” Beliau menjawab, “Di
neraka?” Setelah orang itu berlalu, Rasulullah memanggilnya dan berkata, “Sesungguhnya
ayahmu (Abaka) dan ‘ayahku’ (Abi) di neraka.”
SANGGAHAN.
“Aku meminta izin kepada Tuhanku
untuk memohon ampun (beristighfar) bagi ibuku tetapi Dia tidak mengizinkan aku,
dan aku meminta izin untuk berziarah ke makam ibuku, Dia mengizinkan aku.”
Kalau kita pahami sekilas memang ada
kesan bahwa Ibunda Nabi SAW itu tidak masuk surga. Sebab Rasulllah SAW sampai
memerlukan memintakan ampunan atasnya. Dan ternyata permintaan itu tidak
dikabulkan Allah SWT.
Wajar kalau ada yang berkesimpulan
bahwa kalau begitu Ibunda Nabi SAW itu bukan muslim, tidak pernah bersyahadat
dan mati dalam keadaan kafir. Sebab saat wafat, Nabi Muhammad SAW belum lagi
menjadi nabi.
Namun kalau Allah SWT tidak
memperkenankan Rasulullah SAW memintakan ampunan untuk kedua orang tua, tidak
berarti orang tuanya bukan muslim. Sebagaimana ketika Rasulullah SAW tidak
menyalatkan jenazah yang masih punya hutang, sama sekali tidak menunjukkan
bahwa jenazah itu mati dalam keadaan kafir.
“Sesungguhnya ayahmu (Abaka) dan
‘ayahku’ (Abi) di neraka.”
Hadits ini pun belum menjadi bukti
yang kuat bahwa ayah Rasulullah SAW akan masuk neraka, sebab kata al-ab (Abi,
Abuka, Abaka, dan semacamnya) dalam bahasa Arab sering pula digunakan untuk
makna ‘paman’ di samping ‘ayah’. Dari situ, sangat boleh jadi yang dimaksud
oleh Rasulullah SAW dengan kata Abi dalam hadits ini adalah ‘pamanku’, yaitu
Abu Thalib yang pernah mengasuh beliau layaknya seorang ayah. Dan, memang, Abu
Thalib adalah paman Rasulullah yang meninggal dunia dalam keadaan belum memeluk
Islam setelah beliau diutus sebagai rasul. Orang yang mati dalam keadaan tidak
beriman setelah diutusnya seorang rasul tentu akan masuk neraka.
Penggunaan kata Abi yang berarti
‘paman’ ini kita temukan pula di dalam al-Qur’an. Dalam surah al-An‘am ayat 74,
Allah berfirman yang artinya: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada
bapaknya (Abihi), Azar, “Pantaskah engkau menjadikan berhala-berhala sebagai
tuhan-tuhan yang disembah? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam
kesesatan yang nyata.” Ada banyak mufasir, antara lain Ibnu Katsir, yang
memahami kata Abihi pada ayat itu sebagai ‘paman’ Nabi Ibrahim. Sebab, ayah
Nabi Ibrahim bernama Tarah, bukan Azar.
Adapun larangan Allah SWT untuk
memintakan ampunan orang non muslim adalah semata-mata karena orang itu sudah
diajak masuk Islam, namun tetap membangkang dan akhirnya tidak sempat masuk
Islam dan mati dalam keadaan kafir. Sedangkan kedua orang tua Nabi SAW sama
sekali belum pernah membangkang atau mengingkari dakwah. Sebab mereka
ditakdirkan Allah SWT untuk hidup sebelum masa turunnya wahyu sehingga belum
tentu kedua orang tua Nabi SAW itu kafir.
Di sisi lain, berpandangan bahwa
orang tua Nabi Muhammad SAW akan masuk neraka dapat dikatakan sebagai sesuatu
yang menyinggung perasaan kebanyakan umat Islam yang begitu mencintai rasulnya
dan keluarganya, di samping menyakiti Nabi sendiri. Orang yang mencintai
rasulnya tentu tidak ingin menyakiti perasaan beliau, sedangkan berbicara
tentang orang tua beliau akan masuk neraka dapat dianggap sebagai sesuatu yang
menyakiti Rasul SAW.
Terkait tindakan yang menyakiti
Rasul ini, Allah SWT berfirman: Dan orang-orang yang menyakiti Rasulullah,
bagi mereka azab yang sangat pedih (QS.At-Taubah : 61)
Sesungguhnya orang-orang yang
menyakiti (bersikap atau berucap atau melakukan hal-hal yang mengandung
pelecehan terhadap) Allah dan Rasul-Nya, Allah melaknat mereka (yakni
menjauhkan mereka dari rahmat dan kasih sayang-Nya) di dunia dan di akhirat,
dan menyediakan bagi mereka azab yang menghinakan (QS al-Ahzab : 57)
Lebih dari itu, ada satu hal yang
kiranya perlu kita pahami secara hati-hati, yaitu jika tampak oleh kita bahwa
ayah atau kakek Nabi Muhammad SAW melakukan sesuatu yang dapat dianggap sebagai
kesyirikan, mereka tidak bisa kita katakan sebagai orang muysrik yang pasti
disiksa. Mengapa? Sebab, menurut Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, orang yang melakukan
kesyirikan atau menjalankan keyakinan bukan tauhid pada masa antara seorang
rasul dengan rasul yang lain (masa itu disebut fatrah) tidak akan disiksa. Ini
berdasarkan firman Allah SWT: Dan Kami tidak menyiksa sebelum Kami mengutus
seorang rasul (QS al-Isra’ : 15)
(Kami mengutus mereka sebagai)
rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan supaya tidak ada
alasan bagi manusia membantah Allah sesudah (datangnya) rasul-rasul itu. Dan
Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana (QS an-Nisa’ : 165)
Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW
pernah bersabda: “Sesungguhnya Allah telah memilih Ibrahim dan Ismail dari
kalangan anak-cucu Adam, memilih Bani Kinanah dari keturunan Ismail, memilih
suku Quraisy dari kalangan anak-cucu keturunan Bani Kinanah, memilih Bani
Hasyim dari keturunan Quraisy, dan memilihku dari keturunan Bani Hasyim.”
Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim ini menjelaskan Rasululullah SAW
berasal dari orang-orang pilihan Allah. Orang-orang yang menjadi pilihan Allah
itu sudah barang tentu tidak mungkin memiliki sifat-sifat kafir atau musyrik yang
akan masuk neraka.
Wallahu a’lam bishshawab.
Komentar
Posting Komentar